Senin, 25 Juli 2011

Analisis Kebijakan Penutupan Program Psi Spies di Departemen Pertahanan Amerika Serikat


Latar Belakang Masalah
Istilah Psi Spies mengakar dari masa Perang Dingin. Di masa ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet terus bersaing menunjukkan kedigdayaan mereka dan memperebutkan kemenangan. Untuk itu, kedua belah pihak melakukan berbagai penelitian mengenai hal-hal yang dianggap dapat mendukung upaya pencapaian kemenangan yang diharapkan. Penelitian dan pengembangan yang dilakukan sangat bervariasi. Salah satunya adalah upaya penggunaan ranah psychic. Tujuan penggunaannya bermacam-macam, berkisar dari hal-hal yang “tampak remeh” seperti penggunaan energi pikiran untuk mengacaukan lawan melalui penggunaan penglihatan atau penginderaan jarak jauh untuk mengetahui kapabilitas lawan – bahkan intensi, hingga yang cukup mustahil dan irasional seperti upaya membunuh musuh melalui kekuatan pikiran.
Hal yang terakhir disebut, sampai saat ini tidak pernah dapat dilakukan oleh masing-masing pihak.[1] Namun hal yang pertama dan kedua memang sudah dilakukan, diketahui oleh khalayak komunitas intelijen, dan dapat dikatakan berhasil dilakukan. Orang-orang yang beroperasi dalam ranah psychic demi kepentingan negaranya, dalam konteks ini Amerika Serikat, itulah yang disebut sebagai psi spies. Mereka melakukan penginderaan jarak jauh yang lazim diistilahkan sebagai remote viewing (RV), untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat mengenai berbagai macam hal, seperti lokasi gudang senjata, tempat penyanderaan, hingga melihat apa yang sedang dilakukan oleh pihak lawan. Teori remote viewing mengatakan bahwa aplikasi mental halus mengijinkan seseorang yang sudah dilatih atau berbakat untuk memproyeksikan pikirannya ke lingkungan fisik lain dan bertindak seolah-olah ia benar-benar berada di sana, seperti membaca atau mengingat-ingat dokumen.[2]
Program riset psi spies dalam pemerintahan Amerika Serikat berlangsung sejak tahun 1972 dan ditutup pada tahun 1995. Menurut Ingo Swann, salah satu pionir riset psi spies, program ini muncul karena ketakutan dinas intelijen Amerika Serikat akan kemungkinan pengembangan “psychic warfare advance” di Uni Soviet pada masa Perang Dingin.[3] Program psi spes secara resmi dipayungi oleh dua badan pemerintahan, yaitu Central Intelligence Agency pada tahun 1972 sampai tahun 1975[4], dan berada di bawah Departemen Pertahanan sejak tahun 1976 hingga ia ditutup pada tahun 1995[5]. Pada awalnya, program ini dikodekan sebagai GRILL FLAME. Namun, ia mengalami dua kali pergantian nama menjadi CENTER LANE dan SUN STREAK sebelum akhirnya dikodekan menjadi STAR GATE.[6] Unit Psi Spies selalu dipimpin oleh seorang militer. Namun, pada pertengahan tahun 1980-an, unit ini dipimpin oleh seorang sipil.
Program ini merupakan satu di antara sedikit program yang dilakukan oleh bidang pertahanan dan intelijen Amerika Serikat yang berkaitan dengan uji coba kepada manusia secara langsung. Walaupun secara resmi program ini adalah program riset semata, namun lebih dari itu, mereka secara langsung menjalankan operasi dan menjadi mistress dari semua badan intelijen Amerika Serikat. Semua badan intelijen meminta informasi dari program ini namun mereka enggan mengakui bahwa informasi didapatkan melalui cara-cara psychic seperti remote viewing.[7] Atas dasar keberadaan program ini, maka muncul istilah psychic intelligence (Psiint) yang merupakan upaya pengumpulan data dan berbagai aktifitas intelijen yang dilakukan melalui cara-cara psychic.
Mengingat keberhasilan program ini selama lebih dari dua dekade[8], dihentikannya program ini pada tahun 1995 menimbulkan tanda tanya tersendiri. Apabila ia sudah berjalan selama itu, adalah irasional ketika mengatakan bahwa program ini adalah program yang gagal atau program dengan tingkat kesuksesan rendah. Untuk itu, penulis tertarik meneliti alasan mengapa program penelitian psi spies yang sudah berjalan selama dua puluh tahun di bawah Departemen Pertahanan dihentikan. Penulis akan menganalisis kebijakan tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan program serupa dalam badan intelijen di Indonesia.

Perumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
·         Apa sebab pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan menghentikan program STAR GATE setelah keberhasilannya selama lebih dari dua puluh tahun?

Tujuan Masalah
Pertanyaan di atas diajukan dengan tujuan:
·         Mengetahui sebab pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan menghentikan program STAR GATE setelah keberhasilannya selama lebih dari dua puluh tahun.
·         Sebagai bahan pertimbangan perkembangan program serupa oleh badan intelijen di Indonesia.

Landasan Teoritis
Dietmar Braun & David H. Guston (2003) mengungkapkan bahwa principal-agent adalah suatu konsep relasi sosial berupa delegasi di mana keduanya terlibat dalam pertukaran sumber daya. Principal adalah pelaku yang memiliki sejumlah besar resources namun tidak termasuk dalam orang-orang yang patut menyadari keuntungannya. Sementara agent adalah mereka yang menerima resources ini dan mau melanjutkan atau melakukan apa yang menjadi interest dari principal.[9] Mereka menambahkan:
Masalah tindakan yang kolektif muncul, baik karena kedua belah pihak –  principal maupun agent – memiliki kepentingan untuk masuk ke dalam bentuk exchange relationship. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dengan bertukar sumber daya: bagi principal, ada hal yang diselesaikan di mana ia tidak dapat menyelesaikannya, dan bagi agent, ia memperoleh remunerasi tertentu (uang, pengakuan sosial, dan lain-lainnya).[10]
Teori yang juga disebut sebagai agency theory ini juga dikembangkan oleh Peter D. Feaver (2003) dan diintegrasikan dengan relasi sipil dan militer Amerika Serikat. Feaver menyebutkan ada sesuatu dalam relasi sipil-militer pada masa akhir dan pasca Perang Dingin yang memperburuk relasi keduanya hingga ke titik puncak. Ada kesenjangan yang terjadi antara petinggi sipil dan petinggi militer di Amerika Serikat, baik dalam pemahaman, perspektif, kualitas, hingga jumlah. Ia kemudian menggunakan pendekatan teori principal-agent untuk menganalisis hal tersebut dan menciptakan sebuah teori principal-agent khusus yang lebih berfokus pada relasi sipil sebagai principal dan militer sebagai agent.[11] Menurut Feaver, teori agency sangat membantu dalam menjelaskan interaksi stratejik antara principal sipil dan agent militer[12] karena merepresentasikan hubungan yang dinamis dan fluktuatif dalam tataran hierarkhis.[13]
Feaver menjelaskan bahwa:
Majikan (principal) ingin mempekerjakan pekerja (agent), dan, begitu mempekerjakan, ingin memastikan bahwa pekerja melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan (bekerja/working) dan bukan melakukan hal lain (melalaikan/shirking). Pekerja, tentunya, ingin dipekerjakan, dan dengan demikian memiliki dorongan yang tampak lebih tekun saat wawancara daripada ia sesungguhnya; fakta ini memperumit usaha majikan untuk memilih para pekerja yang ingin bekerja keras, sebuah fenomena yang disebut sebagai masalah adverse selection (seleksi yang merugikan). Begitu dipekerjakan, lebih jauh lagi, pekerja akan memiliki dorongan untuk melakukan sesedikit mungkin pekerjaan yang mungkin ia lakukan, yang tetap menginformasikan kepada majikan bahwa ia bekerja dalam taraf yang dapat diterima; fakta ini memperumit usaha majikan untuk mengawasi pekerja dan disebut masalah moral hazard. Pendekatan principal-agent, kemudian, menganalisis bagaimana principal dapat membentuk hubungan untuk memastikan pekerjanya melaksanakan keinginannya di hadapan masalah adverse selection dan moral hazard yang ada dalam semua situasi institusi manapun.[14]
Namun menurut Braun & Guston, shirking juga dapat dilakukan oleh principal karena ia dapat memiliki dorongan untuk tidak memberikan resources yang maksimal sesuai dengan yang disepakati dalam kontrak. Sehingga, interaksi principal-agent dapat dikatakan sebagai sebuah “mixed-motive game”. [15]
Guston (2000) menciptakan sebuah eksistensi mengenai “boundary organisations” yang bersumber dari “boundary objects” yang memungkinkan anggota dari komunitas berbeda bekerja bersama-sama di dalamnya, dan tetap memakai identitas mereka yang berbeda-beda. Ia menyatakan bahwa situasi ini ada dalam relasi antara politik dan ilmu pengetahuan yang sama-sama dapat dianggap sebagai principal dalam boundary organisation mereka dan dengan demikian menginternalisasikan karakter sementara dan ambigu dari batas organisasi tersebut.[16]
Dari teori Braun, Guston, dan Feaver tersebut dapat disimpulkan sebuah teori agency yang tepat untuk menggambarkan relasi sipil-militer yang ada dalam unit STAR GATE di mana sipil yang merupakan principal karena menjadi pemimpin dan militer yang menjadi agent karena merupakan pelaksana perintah pemimpin, dapat dibalik menjadi sipil sebagai agent yang menyebarkan dan melaporkan kinerja dan kesuksesan unit militer tersebut dan militer sebagai principal yang memiliki resources berupa skill yang melaksanakan operasi pemerintah. Ini menyatakan bahwa sifat principal-agent dalam bentuk atasan-bawahan dapat diseimbangkan dengan bentuk relasi interdependensi antara principal dan agent.

Metodologi
Paper ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori principal-agent untuk melakukan analisis terhadap kebijakan Departemen Pertahanan tersebut.
Penulis menggunakan model teori principal-agent yang merupakan dasar berbagai studi yang berkaitan dengan relasi antara atasan dan bawahan dalam sebuah organisasi. Model ini memiliki dua asumsi dasar. Pertama, bahwa ada konflik tujuan di antara principal dan agent. Kedua, bahwa agent memiliki lebih banyak informasi daripada principal yang menghasilkan asimetri informasi di antara mereka.[17] Penelitian ini akan melihat apa yang terjadi dalam kasus penghentian program STAR GATE oleh pemerintah Amerika Serikat dengan menggunakan teori principal-agent yang menganalisis relasi antara pelaku psychic intelligence dan user.


Figure 1 : Relasi Sipil dan Militer

Untuk itu, pembahasan akan dilakukan dengan menelusuri sebab-sebab keluarnya kebijakan penghentian program tersebut di mana sebab-sebabnya berada dalam lingkup relasi principal (sipil) dan agent (militer) dengan model seperti yang digambarkan dalam Figure 2 di mana x1, x2, dan x3 adalah faktor-faktor yang memperburuk relasi principal-agent.


Figure 2 : Model Pembahasan Analisis Kebijakan

Penulis memberikan hipotesis (H1) bahwa program STAR GATE dihentikan karena memburuknya relasi sipil dan militer dalam unit tersebut.

Pembahasan
Dalam kasus penghentian program psi spies, tampak ada tiga faktor yang memperburuk relasi sipil-militer yang mendorong terjadinya hal tersebut. Faktor-faktor ini menunjukkan adanya perbedaan kepentingan dan asimetri informasi antara user yang baru yang merupakan orang sipil dan para viewer yang memiliki latar belakang militer sesuai dengan dua asumsi yang dikemukakan sebelumnya. Tantangan dari relasi sipil dan militer adalah menyatukan militer yang cukup kuat untuk melakukan apapun yang diminta oleh sipil dengan militer yang cukup “bawahan” untuk hanya melakukan apa yang diotorisasi oleh sipil.[18] Krisis relasi sipil dan militer Amerika Serikat memuncak pada masa akhir dan pasca Perang Dingin. Dan krisis relasi ini juga terjadi dalam program STAR GATE ini.
Di akhir tahun 1980-an, penelitian psi berada di bawah Scientific and Technical Intelligence Directorate, Defense Intelligence Agency. Unit ini kemudian dipimpin oleh seorang sipil, Dr. Jack Verona. Verona memandang proyek penelitian STAR GATE sebagai sebuah aset dan mengelolanya dengan baik dengan membuat unit ini tampak seperti unit penelitian yang sesuai dengan yang ditetapkan namun tetap mengijinkan operasi psychic terus berjalan.[19] Ia melakukan pendekatan kepada Washington dan menjalin relasi dengan sangat hati-hati, termasuk dengan para politisi. Ini membuatnya tidak membatasi jaringan hanya kepada pihak-pihak yang membutuhkan intelijen dari unit STAR GATE, tetapi juga kepada mereka yang bisa menguntungkan dirinya dan unitnya. Namun, di tengah memburuknya relasi sipil-militer Amerika Serikat pasca Perang Dingin, Verona mengabaikan fakta bahwa apa yang ia lakukan sebenarnya adalah melakukan politisasi terhadap unit STAR GATE, sesuatu yang sangat tidak disukai oleh para psi spies yang merupakan orang militer. Inilah faktor yang pertama yang memperburuk relasi agent-principal, yaitu politisasi yang dilakukan oleh sipil terhadap unit militer.
Di pihak Verona sendiri, sebagai seorang sipil, ia menikmati kekuasaannya atas unit militer ini dengan mengambil beberapa langkah untuk memastikan kekuasaan penuhnya atas unit ini dengan mengganti anggota unit dengan orang-orang sipil dan mengangkat administrator sipil yang sangat taat kepada Verona. Salah satu langkah politisasi unit yang ia lakukan dapat dilihat ketika status kinerja dan efektifitas Psi Spies harus dilaporkan ke Kongres, administrator unit mengubah data-data yang semula menunjukkan tingkat efektifitas 72,8% menjadi 24% supaya efektifitas Psi Spies tidak diketahui. Ini merupakan hasil dari jalinan relasi Verona dengan para politisi di Washington. Dan masalah ini yang terutama menyebabkan moral kinerja unit Psi Spies turun ke titik nadir.
Tak lama setelahnya, faktor kedua muncul, yaitu pencampuran orang sipil dalam unit militer ini tanpa diiringi kewajiban yang setara di antara mereka. Hal ini terjadi dengan kemunculan dua wanita sipil sebagai trainee di unit STAR GATE, Angela dan Robin, yang memperburuk permasalahan. Robin sebelumnya adalah pegawai baru di Defense Intelligence Agency dan ibunya adalah seorang channeler. Sementara ibu Angela adalah channeler, pembaca kartu Tarot, praktisi automatic writing, dan ahli papan Ouija. Menurut psi spies, Angela bekerja di semacam “institusi” di Washington memberikan “psychic reading”. Mereka membawa segala macam hal tersebut ke dalam unit STAR GATE, tidak pernah berlatih struktur remote viewing sama sekali, dan memiliki agenda mereka sendiri di sana.
Faktor ketiga yang kemudian memperparah permasalahan, menurut para psi spies, adalah kegagalan memahami bahwa Coordinate Remote Viewing, dikembangkan secara ilmiah, memiliki struktur tersendiri, dan secara operasional terbukti sukses, adalah hal yang berbeda dengan praktik-praktik channeling dan psychic reading yang dilakukan oleh orang-orang sipil yang kemudian mengontrol unit STAR GATE.[20]
Dengan demikian, penyebab kebijakan penghentian program STAR GATE di bawah pemerintah resmi Amerika Serikat dapat digambarkan dalam Figure 3.


Figure 3 : Faktor-faktor Penyebab Memburuknya Relasi Sipil-Militer dalam Unit STAR GATE

Kesimpulan
Dari kebijakan penghentian program STAR GATE di Departemen Pertahanan Amerika Serikat, ada beberapa hal yang dapat dipahami. Pertama, relasi sipil dan militer dalam menjalankan program-program pemerintah yang sangat sensitif harus diperhatikan. Ini menghasilkan saran supaya jangan sampai sipil yang memimpin program militer melakukan politisasi terhadap program tersebut. Di samping itu, dalam kasus negara Amerika Serikat, militer adalah yang menerima perintah dan diwajibkan menaati perintah apapun yang diberikan. Sementara sipil memiliki keistimewaan sebagai tax payer, ia tidak wajib menaati perintah dalam kemiliteran atau program militer.
Berdasarkan teori principal-agent, ada tiga faktor yang menyebabkan memburuknya relasi sipil-militer yang ada dalam unit STAR GATE. Pertama, politisasi unit STAR GATE yang dilakukan oleh Dr. Jack Verona. Dan kedua, pencampuran orang sipil dalam unit militer ini tanpa diiringi kewajiban yang setara di antara mereka. Kedua hal ini berakibat pada turunnya moral para psi spy. Terakhir, asimetri informasi antara principal (sipil) dan agent (militer) dalam masalah Coordinate Remote Viewing yang menjadi dasar operasi psi spies.
Ketiga faktor di atas adalah faktor-faktor yang harus diperhatikan – di samping masalah finansial – oleh badan intelijen Indonesia ketika ingin mengembangkan program psi spies ini di Indonesia.



Referensi

Braun, D. Guston, D.H. (2003). “Principal-Agent Theory and Research Policy: An Introduction”. Science and Public Policy, 30:5, 302-308.
Feaver, P.D. (2003). Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard University Press.
Mars, J. (2007). Psi Spies: The True Story of America’s Psychic Warfare Program. Franklin Lakes: New Page Books.
Swann, I. (1998). Penetration: The Question of Extraterrestrial and Human Telepathy. South Dakota: Ingo Swann Books.
Turner, M.A. (2006). Historical Dictionary of United States Intelligence. Historical Dictionaries of Intelligence and Counterintelligence, No.2. Lanham, MD: The Scarecrow Press, Inc.
Waterman, R.W. Kenneth J.M. (1998). “Principal-Agent Models: An Expansion?”. Journal of Public Administration Research and Theory, 2, 173-202.
West, N. (2006). Historical Dictionary of International Intelligence. Historical Dictionaries of Intelligence and Counterintelligence, No.4. Lanham, MD: The Scarecrow Press, Inc.


[1] Jim Mars. (2007). Psi Spies: The True Story of America’s Psychic Warfare Program. Franklin Lakes: New Page Books. h.169-170.
[2] Nigel West. (2006). Historical Dictionary of International Intelligence. Historical Dictionaries of Intelligence and Counterintelligence, No.4. Lanham, MD: The Scarecrow Press, Inc. h. 215.
[3] Ingo Swann. (1998). Penetration: The Question of Extraterrestrial and Human Telepathy. South Dakota: Ingo Swann Books. h.3. Lihat juga West. (2006). Historical. h.242.
[4] Mars. (2007). Psi. h.121, 291-292. Lihat juga Swann. (1998). Penetration. h.3.
[5] Mars. (2007). Psi. h.123, 292.
[6] Mars. (2007). Psi. h.177. Lihat juga West. (2006). Historical. h.242.
   Secara umum, Operasi STAR GATE bermaksud kode yang memayungi seluruh penelitian CIA dan beberapa dinas pemerintah AS lainnya mengenai parapsikologi, seperti remote viewing, mental telepathy, dan extrasensory perception (ESP) di Stanford Research Institute dan Science Applications International Corporation. Penelitian tersebut dimaksudkan untuk digunakan dalam operasi covert dan klandestin. Lihat Michael A. Turner. (2006). Historical Dictionary of United States Intelligence. Historical Dictionaries of Intelligence and Counterintelligence, No.2. Lanham, MD: The Scarecrow Press, Inc. h.193. West. (2006). Historical. h.242.
[7] Mars. (2007). Psi. h.183.
[8] Mars. (2007). Psi. h.16.
[9] Dietmar Braun, David H Guston. (2003). “Principal-Agent Theory and Research Policy: An Introduction”. Science and Public Policy, 30:5, 302-308. h.303.
[10] Braun & Guston. (2003). “Principal-Agent”. h.304.
[11] Peter D. Feaver. (2003). Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations. Cambridge: Harvard University Press. h.54-58.
[12] Feaver. (2003). Armed. h.2.
[13] Feaver. (2003). Armed. h.54-55.
[14] Feaver. (2003). Armed. h.55.
[15] Braun & Guston. (2003). “Principal-Agent”. h.304.
[16] Braun & Guston. (2003). “Principal-Agent”. h.305.
[17] Richard W. Waterman, Kenneth J. Meier. (1998). “Principal-Agent Models: An Expansion?”. Journal of Public Administration Research and Theory, 2, 173-202. h. 173, 183, 197. Lihat juga Braun & Guston. (2003). “Principal-Agent”. h.304.
[18] Feaver. (2003). Armed. h.2.
[19] Mars. (2007). Psi. h.195.
[20] Mars. (2007). Psi. h.198.

Selanjutnya ..

Etika dalam Proses Intelijen Kompetitif


Abstraksi
Pada umumnya, masalah etika yang dibicarakan hanya berkaitan dengan cara pelaku intelijen kompetitif mengumpulkan informasi. Namun, lebih jauh dari itu, masalah etika sebenarnya muncul dalam setiap proses intelijen kompetitif yang dilakukan, mulai dari perencanaan, pengumpulan informasi, analisis, hingga komunikasi hasil analisis. Tulisan ini akan menyoroti masalah etika apa yang terjadi dalam setiap proses intelijen kompetitif, dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasinya.

I.          Latar Belakang

Suatu organisasi, hendaknya, meletakkan aturan dan kode etik perusahaan di atas segalanya. Ini dilakukan untuk membangun sebuah nilai dalam perusahaan, baik nilai individu, maupun nilai organisasi. Ada begitu banyak hal yang dilakukan demi mencapai keuntungan ekonomi yang maksimal. Namun, seringkali para manajer mengumpulkan informasi dan melakukan praktek intelijen ekonomi justru dengan melanggar norma-norma dan etika yang berlaku. Patut disadari bahwa sesungguhnya, masalah etika yang terjadi dalam perusahaan, tidak hanya berimplikasi kepada nasabah atau klien secara hukum, tapi juga menghancurkan nilai-nilai perusahaan dan meruntuhkan posisi kompetitif yang berakibat buruk bagi perusahaan itu sendiri. Masalah etika dalam CI tidak hanya menyangkut penyalahgunaan hukum, namun juga mempertanyakan ketaatan akan asas-asas dan nilai-nilai perusahaan yang terkait (Jordan & Finkelstein: 2005).
Ada cukup banyak literatur yang mengatakan bagaimana seharusnya profesional CI mempraktekkan CI dengan penuh etika. Namun, mereka lebih menekankan bahwa etika itu hanya berperan dalam tataran mengumpulkan informasi yang dibutuhkan saja. Sementara etika yang ada dalam menganalisis informasi, mendiseminasi, hingga merencanakan kembali seringkali luput dari perhatian. Etika memang merupakan hal yang bersifat oxymoron dalam dunia intelijen, tetapi, itu tidak berarti bahwa etika itu harus diabaikan begitu saja. Etika akan berimplikasi langsung terhadap perilaku pelaku intelijen, baik dalam intelijen nasional maupun intelijen privat. Lebih khusus lagi, dalam tataran perusahaan, perilaku yang tidak berlandaskan pada etika yang baik, akan berdampak pada integritas perusahaan itu sendiri yang bersumber dari kepercayaan masyarakat dan para stakeholder-nya. Dalam dunia di mana kepercayaan menjadi landasan dari berjalannya suatu organisasi, tidak ada perusahaan yang mau melanggar etika bila mereka benar-benar menyadari bagaimana pentingnya integritas.
Paper ini akan mengetengahkan implementasi etika dalam setiap putaran intelijen kompetitif, bagaimana cara memenyelesaikan business intelligence cycle dengan memasukkan etika ke dalam setiap unsur putarannya. Ini dilakukan dengan mengadopsi teori etika Born & Wills untuk intelligence cycle dari intelijen nasional. Atas dasar itu, sebuah model etika kemudian dikembangkan dari model etika Fitzpatrick dan model etika Svensson & Wood untuk melengkapi pengadopsian teori etika tersebut ke dalam ranah competitive intelligence yang berciri ekonomi, bisnis, dan private sector. Implementasi model etika yang tepat diharapkan dapat membantu membangun atau membangun kembali nilai-nilai integritas individu dan organisasi yang kemudian berimplikasi positif pada upaya membangun dan mempertahankan posisi kompetitif organisasi.

II.       Perumusan Masalah

Proses intelijen kompetitif pada dasarnya tidak berbeda dengan proses intelijen pada umumnya. Proses ini terdiri dari empat fase, yaitu perencanaan dan fokus,  pengumpulan informasi, analisis, dan komunikasi. Empat fase ini, masing-masing dipengaruhi oleh empat hal lain, yaitu kesadaran dan budaya, serta proses dan struktur. Kesadaran dan budaya mempengaruhi tahap perencanaan dan analisis informasi, sementara proses dan struktur tidak dapat dilepaskan dari pengumpulan informasi dan komunikasi hasil analisis. Hal tersebut tampak dalam Figure 1.


Figure 1.
Planning & Focus merupakan fase di mana penilaian dibuat berdasarkan intelijen apa yang dibutuhkan. Fase inilah yang menentukan alokasi space-time-money untuk pelaksanaan pengumpulan informasi. Tahap Collection adalah saat informasi dikumpulkan dari berbagai sumber yang ada sekaligus menentukan apakah informasi yang diperoleh beserta sumbernya itu memiliki kredibilitas dan reliabilitas yang baik. Sementara itu, proses Analysis merupakan tahap mengolah informasi menjadi suatu produk yang dapat dimanfaatkan oleh user. Terakhir, tahap Communication adalah fase menyebarkan produk intelijen kompetitif kepada para user yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk bertindak berdasarkan produk intelijen yang dihasilkan (Saymaan, et al: 2008).

III.    Tinjauan Pustaka

Competitive intelligence dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai enam hal. Enam hal tersebut adalah (1) Kapabilitas strategis; (2) Properti intelektual; (3) Formulasi produk; (4) Proses teknologi; (5) Business plans; dan (6) Ancaman potential (Fitzpatrick: 2003).
Demi memperoleh hal-hal tersebut, berbagai cara, teknik, dan sumber informasi dimanfaatkan. Tekniknya bervariasi, mulai dari secara pasif, semi aktif, hingga aktif (Friedman, et al: 1997). Teknik pengumpulan intelijen secara pasif sangat sedikit, bahkan seringkali tidak, bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ini membuat masalah etika bukan merupakan hambatan dalam menjalankan pengumpulan data. Namun tidak demikian adanya dengan teknik pengumpulan intelijen secara semi aktif dan aktif. Keduanya berada dalam wilayah abu-abu dan seringkali berbenturan dengan ranah hukum. Jejak yang dihasilkan dari metode pengumpulan ini bahkan dapat menyinggung pesaing serta penguasa terkait yang dapat membahayakan praktisi CI itu sendiri. Karena itu, berbagai teknik CI lain yang lebih kreatif pun dikembangkan untuk meminimalisir masalah etika dalam intelijen kompetitif.
Shlomo Shpiro (Born & Wills: 2010) mengatakan bahwa etika intelijen secara umum adalah sekelompok arahan perilaku yang berbasis pada kepercayaan tertentu . . . sehubungan dengan peran intelijen dalam masyarakat. Sementara Michael Herman (Herman: 2004) berpendapat bahwa etika dalam intelijen adalah gabungan dari moralitas pribadi dan utilitas sosial. Kedua hal ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa etika dalam intelijen adalah arahan mengenai sikap dan perilaku berdasarkan norma yang berlaku, bersumber dari intrinsik personal, dan berimplikasi pada lingkungan sosial di sekitarnya.
Praktisi CI akan bersinggungan dengan hukum dalam masalah rahasia dagang bila mereka, tanpa otorisasi yang memadai (1) membawa; (2) mengirim; dan (3) menerima rahasia dagang suatu perusahaan (Fitzpatrick: 2003). Untuk itu, demi melindungi rahasia dagang, maka perusahaan menerapkan berbagai prosedur perlindungan yang terdiri dari (1) memberi arahan kepada karyawan bahwa beberapa hal tertentu dalam perusahaan merupakan bagian dari rahasia dagang; (2) membatasi akses terhadap rahasia dagang tersebut; (3) menandatangani kesepakatan kerahasiaan dengan orang-orang yang memiliki akses terhadap rahasia dagang; (4) memasang peralatan keamanan; (5) secara jelas menandai barang-barang rahasia dengan cap kerahasiaan; dan (6) mengembangkan kebijakan keamanan perusahaan yang mengawasi pembicaraa eksternal dan publikasi oleh personel perusahaan untuk mencegah terjadinya kebocoran rahasia dagang (Fitzpatrick: 2003).
Di Amerika Serikat, untuk menghindari masalah etika dan hukum yang mungkin menghalangi kinerja pelaku CI, maka perkumpulan profesional CI (SCIP), membuat aturan kode etik tersendiri (Fitzpatrick: 2003). Kode etik ini melarang anggotanya untuk (1) menyuap; (2) memasang peralatan penyadapan; (3) mencuri atau membayar seseorang untuk mencuri; (4) memeras atau mengancam; dan (5) memperoleh akses melalui misrepresentasi atau secara sengaja salah mengarahkan informan potensial, baik dengan cara berpura-pura menggunakan identitas lain demi menggali informasi (commission), atau dengan tidak jujur mengatakan motivasi atau klien mereka (omission).
Untuk itu, Society of Competitive Intelligence Professional (SCIP) memiliki kode etik yang harus ditaati dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh para anggotanya. Kode etik tersebut adalah:
1.      Terus berusaha keras meningkatkan pengakuan dan respek profesi;
2.      Menaati semua hukum yang berlaku, di wilayah domestik dan internasional;
3.      Secara akurat menyingkap semua informasi yang relevan, termasuk identitas dan organisasi seseorang, sebelum wawancara berlangsung;
4.      Respek secara penuh terhadap semua permintaan terhadap kerahasiaan informasi;
5.      Untuk menghindari konflik kepentingan dalam memenuhi kewajiban;
6.      Untuk menyajikan rekomendasi dan konklusi yang jujur dan realistis dalam eksekusi tugas;
7.      Untuk meningkatkan kode etik dalam perusahaan seseorang, dengan kontraktor bagian ketiga, dan di dalam semua profesi; dan
8.      Setia mematuhi kebijakan, tujuan, dan arahan perusahaan.
Semua kode etik ini pada dasarnya mengatur bagaimana seorang pelaku intelijen kompetitif bertindak dalam setiap proses intelijen kompetitif.
Di samping kode etik tersebut, ada begitu banyak model yang digunakan untuk menerangkan masalah etika dalam praktek intelijen kompetitif. Salah satunya adalah model etika Fitzpatrick seperti yang tampak pada Figure 2.


Figure 2.
Fitzpatrick (Fitzpatrik: 2003) mengetengahkan bahwa etika pelaku kompetitif intelijen yang efektif bersumber dari tiga hal, yaitu akuntabilitas, inisiatif keamanan perusahaan, dan pendidikan yang dilakukan oleh perusahaan. Akuntabilitas berkaitan dengan penilaian, penerimaan, dan audit dari informasi yang masuk ke dalam perusahaan. Sementara inisiatif keamanan perusahaan berhubungan dengan program kesadaran para karyawan mengenai keamanan dan reduksi faktor resiko dari sisi para karyawan itu sendiri. Sedangkan pendidikan berhubungan dengan instruksi para personel intelijen kompetitif untuk memonitor para kompetitor secara proaktif dengan metode dasar atau pengarsipan, bukan dengan metode-metode lain yang legalitasnya dipertanyakan.
Sementara itu, etika bisnis Svensson & Woods (Svensson & Woods: 2008) mengetengahkan hal yang jauh lebih kompleks seperti yang tampak pada Figure 3. Model etika Svensson & Wood mencakup ekspektasi masyarakat yang menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan organisasi dan memunculkan persepsi-persepsi tertentu dalam perusahaan. Keduanya memunculkan hasil yang kemudian dievaluasi kembali oleh masyarakat. Hasil dari evaluasi ini kemudian memunculkan ekspektasi masyarakat selanjutnya.


Figure 3.
Dari kedua model etika di atas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya, sikap para pelaku intelijen kompetitif sebenarnya dipengaruhi oleh tiga hal ekstrinsik, yaitu norma dan budaya sosial yang berlaku, budaya bisnis dan praktek industri, serta ekspektasi dan budaya perusahaan. Lihat Figure 4.



Figure 4.

IV.    Pembahasan Masalah

Setelah melihat proses intelijen kompetitif dan model etika yang ada dalam intelijen kompetitif, sekarang adalah waktu untuk mengidentifikasi masalah etika yang ada dalam setiap proses dan mencari solusinya.

a.         Perencanaan
Perencanaan adalah tahap awal sekaligus akhir dalam perputaran intelijen. Kebijakan yang diambil di tahap ini tidak hanya mendefinisikan parameter tahap-tahap proses intelijen selanjutnya, namun ia juga dipengaruhi oleh tahap-tahap proses yang terjadi sebelumnya (Svensson & Woods: 2008). Dalam konteks intelijen kompetitif, masalah etika yang muncul dalam proses perencanaan pada umumnya berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
1)        peranan para eksekutif dalam meletakkan prioritas, yang bertujuan demi kemakmuran perusahaan, namun tetap bertanggung jawab atas tindakan intelijen kompetitif yang dilakukan sehingga mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak melangkahi norma etika yang berlaku. Selain itu mereka juga tidak boleh meminta intelijen kompetitif menghasilkan informasi dengan cara apapun dan secepat mungkin (Friedman: 1997) karena dapat membuat pelaksana intelijen kompetitif melanggar etika-etika yang berlaku demi memenuhi perintah atasannya;
2)        legitimasi fungsi atau tugas yang menjustifikasi keterlibatan intelijen kompetitif yang, sesuai dengan prinsip space-time-money (Friedman: 1997), memutuskan di mana sumber daya yang ada harus difokuskan dan kelompok, individu, atau perusahaan apa yang menjadi target informasi. Adanya klasifikasi mengenai wilayah informasi serta siapa yang memiliki informasi tersebut (Pfaff & Tiel: 2004) juga menuntut perencanaan yang matang berkaitan dengan cara mengumpulkan intelijen dari target yang diinginkan; dan
3)        perekrutan individu untuk melaksanakan tugas yang direncanakan yang membuat perusahaan harus berhati-hati memilih pelaksana tugas dengan menerapkan standar etika yang tinggi dalam proses perekrutan (Godfrey: 1978).


b.        Pengumpulan informasi
Ada begitu banyak masalah etika yang berhubungan dengan pengumpulan informasi dalam intelijen kompetitif. Banyak pelaku intelijen kompetitif yang menghalalkan segala cara demi memenuhi tuntutan atasannya akan informasi intelijen secepat mungkin. Cara-cara yang dilakukan bervariasi, dari yang paling etis hingga yang sangat tidak etis. Michelle & Curtis Cook (Cook & Cook: 2000) mengembalikan pilihan kepada para profesional intelijen kompetitif untuk memikir, menjawab dan menilai sendiri cara apa yang patut digunakan dengan memberikan daftar cara pengumpulan untuk tes perilaku etis untuk pelaku intelijen kompetitif. Tes itu kemudian diukur dengan menggunakan skala Likert berdasarkan tolak ukut 1-5. Beberapa pernyataan di antara daftar tersebut adalah :
1)        Mengambil ide dari teknisi pesaing dalam trade show atau konferensi.
2)        Mewawancara karyawan pesaing untuk pekerjaan yang tidak eksis demi mengumpulkan informasi secara tidak langsung.
3)        Mempekerjakan eksekutif kunci untuk apa yang mereka ketahui.
4)        Mempekerjakan konsultan yang sama dengan pesaing.
5)        Mewawancara mantan pekerja kompetitor.
6)        Membeli sampah pesaing dari tempat pembuangan sampah.
Apa yang dilakukan oleh Cook & Cook pada dasarnya merupakan usaha untuk menimbulkan motivasi intrinsik dalam diri profesional intelijen untuk melaksanakan tindakan pengumpulan informasi secara etis. Selain itu, dalam mengumpulkan informasi juga patut dipertimbangkan apakah pengumpulan yang dilakukan menabrak privasi (Svensson & Woods: 2008) dari individu-individu tertentu, bukan hanya privasi perusahaan pesaing.

c.         Analisis informasi
Analisis adalah proses mentransformasikan bagian-bagian informasi yang diperoleh menjadi sesuatu yang berguna bagi pembuat kebijakan (Svensson & Woods: 2008). Proses ini mencakup memilah, mengkorelasikan, menyimpan, dan menganalisis informasi serta mengorganisirnya dengan baik. Dalam proses ini, masalah etika yang muncul berakar pada dua hal, yaitu:
a)         Politisasi hasil analisis untuk pembuatan kebijakan. Walaupun hal ini sering terjadi dalam tataran intelijen negara, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ini juga muncul dalam intelijen bisnis. Eksekutif perusahaan sering menggunakan analisis yang ada untuk menjustifikasi pendapat atau kebijakan mereka tentang suatu hal, apakah itu strategi perusahaan atau sekedar demi personal interest.
b)        Adanya kewajiban untuk memberikan peringatan (precaution) mengenai kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam kesimpulan analisisnya. Namun, seringkali analis mengabaikan hal tersebut karena mengkhawatirkan reliabilitas dan validitas analisisnya atau karena takut analisisnya ditolak oleh atasannya.


d.        Komunikasi hasil analisis
Dalam komunikasi atau diseminasi hasil analisis, ada beberapa hal yang memunculkan masalah etika yang seringkali luput dari pengamatan. Hal-hal tersebut adalah isu memberitahukan kebenaran kepada atasan, intelligence sharing, dan diseminasi intelijen yang tidak terotirisasi.
Dalam isu memberitahukan kebenaran kepada atasan, integritas dalam mempresentasikan hasilnya kepada konsumen intelijen, dalam hal ini manajer, CEO, dan sebagainya, dengan tidak memanipulasi atau melebih-lebihkan supaya cocok dengan suatu kepentingan politis tertentu di dalam perusahaan. Sementara itu, dalam hal intelligence sharing, informasi yang dikumpulkan oleh intelijen kompetitif dapat digunakan oleh berbagai departemen dalam perusahaan, yang menganalisisnya kembali untuk digunakan dalam hal lain, berujung pada masalah etika penggunaan informasi bila dilakukan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Selain itu, perusahaan juga harus mengantisipasi adanya kebocoran informasi atau hasil analisis perusahaan oleh oknum pelaku intelijen kompetitif dalam perusahaan tersebut, baik secara rahasia ataupun terang-terangan menjadi whistle blower karena merasa bahwa ada kewajiban moral untuk melaporkan malpraktek yang terjadi dalam perusahaan, bila ada. Sehingga, perlu betul-betul diperhatikan bagaimana cara menjaga arus informasi dengan mengembangkan sistem keamanan dalam perusahaan dan menjaga supaya perusahaan tetap berjalan dengan penuh integritas dan kehormatan.

V.       Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah etika dalam intelijen kompetitif tidak hanya terjadi dalam proses pengumpulan informasi. Namun, lebih dari itu, masalah etika justru muncul dalam setiap proses dalam lingkaran intelijen kompetitif. Ada beberapa model etika yang dapat diimplementasikan dalam perusahaan untuk meminimalisir dan mengatasi masalah etika ini. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masalah etika adalah masalah yang muncul dari dalam diri individu sehingga mengatasinya pun harus dari dalam pula. Berbagai model ataupun kode etik yang ada hanya sebatas motivasi ekstrinsik yang berperan sebatas mengarahkan perilaku yang tampak. Seperti apapun model etika yang diimplementasikan, hal tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya pemahaman masing-masing personal mengenai etika dan kesadaran mereka untuk mengimplementasikannya. Kesadaran ini harus bersumber dari motivasi intrinsik dan didukung oleh motivasi ekstrinsik yang muncul dari implementasi kode etik di perusahaan.



Referensi

Cook, M. & C. Cook. [2000]. Competitive Intelligence: Create an Intelligent Organization and Compete to Win. London: Kogan Page.
Fitzpatrick, W.M. [2003]. “Uncovering Trade Secret: The Legal and Ethical Conondrum of Creative Competitive Intelligence”. S.A.M. Advanced Management Journal.
Friedman, G. et al. [1997]. The Intelligence Edge: How to Profit in the Information Edge. New York: Crown Publisher, Inc.
Godfrey, D.E. [1978]. “Ethics and Intelligence”. Foreign Affairs 56, no.3: 624-642.
Hallaq, J.H, K. Steinhorst. [1994]. “Business Intelligence Methods: How Ethical”. Journal of Business Ethics. ABI/INFORM Global.
Herman, M. [2004]. “Ethics and Intelligence after September 2001”. Intelligence and National Security. 19:2. 342-358.
Jordan, Jennifer, Sydney Finkelstein. [2005]. “The Ethics of Competitive Intelligence”. Turk School of Business at Dartmouth.
Pfaff, T. and J. Tiel. [2004]. “The Ethics of Espionage”. Journal of Military Ethics 3, no. 1.
Saymaan, A. Et al. [2008]. “Competitive Intelligence: Construct Exploration, Validation, and Equivalence”. New Information Perspectives, 60, 4: 383-411.
Sims, R.R. and J. Brinkmann. (2003). “Enron Ethics (Or: Culture Matters More than Codes)”. Journal of Business Ethics, 45: 243-256. Belanda: Kluwer Academic Publishers.
Svensson, G. and G. Wood. (2008). “A Model of Business Ethics”. Journal of Business Ethics, 77: 303-322.

Selanjutnya ..