Ada keraguan yang menyeruak saat menggabungkan intelijen dan etika. Ide ini selalu mendapat tertawaan dan komentar skeptis. Michael Andregg menyebutkan bahwa ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, selama ini intelijen dipotret sebagai sesuatu yang tidak bermoral karena selalu mengeksploitasi ketidakjujuran dan orang lain. Kedua, meskipun intelijen dijustifikasi demi kepentingan pertahanan, namun penggunaan intelijen di masa damai tetap dipandang sebagai hal yang tidak benar. Sehingga ketidakpercayaan terhadap intelijen berdasarkan anggapan bahwa aktifitasnya secara internasional tidak benar tetap ada walaupun citranya cenderung membaik.[1]
Menanggapi masalah etika intelijen, terutama pasca peristiwa 9/11, Michael Herman menggarisbawahi berbagai isu. Pertama, apakah intelijen dapat didukung secara terbuka oleh negara sebagai masukan yang penting untuk pembuatan kebijakan kolektif dan bangsa? Kedua, apakah intelijen sedemikian buruk sehingga dunia yang bebas intelijen harus dibuat, atau apakah intelijen harus dibiarkan ada, mungkin dengan meningkatkan aturan-aturannya? Ketiga, Seberapa jauh pengaruh yang diberikan peristiwa 9/11 terhadap intelijen? Dan terakhir, etika apa yang bisa diterapkan pada intelijen? Ia berusaha menjawab semua hal tersebut menggunakan tiga aspek. Pertama, apa yang diharapkan dari intelijen berdasarkan pada peran dan alasan intelijen. Kedua, intelijen sebagai aktifitas nasional yang esensial sehingga intelijen harus tetap ada. Ketiga, sistem intelijen Barat.[2]
Andregg memandang bahwa etika adalah studi logika dan paradigma moral.[3] Dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai moral kuno seperti harus jujur, jangan mencuri, jangan membunuh, hormati tetanggamu, dan sebagainya dapat ditemukan dan ditaati. Namun karena dunia intelijen mencakup aktifitas yang berada dalam wilayah abu-abu dalam pemikiran tentang moral dan menghasilkan dilema di mana agen harus menyeimbangkan kepentingan keamanan nasional yang harus mereka lindungi dengan nilai-nilai moral ortodoks yang melarang berbohong, mencuri, membunuh, dan lainnya.
Filsafat Barat Klasik yang diusung oleh Plato, Aristoteles, dan lainnya berfokus pada identifikasi nilai kebajikan moral dan mempertanyakan bagaimana nilai tersebut dapat dibudidayakan dalam masyarakat yang beradab. Kant dan John Stuart Mill kemudian mengembangkan hal tersebut dengan lebih jauh, melalui pandangan mereka masing-masing. Kant menelurkan doktrin deontologis yang berdasarkan pada aturan sementara Mill memakai doktrin konsekuensialisme yang berbasis pada konsekuensi dari sebuah tindakan. Ketiga teori ini mencakup tiga hal penting, yaitu pelaku, tindakan, dan konsekuensi dari tindakan tersebut. Namun masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Teori kebajikan lebih berkonsentrasi pada pelaku, teori deontologis berfokus pada moralitas tindakan yang dilakukan, sementara teori konsekuensialis menitikberatkan pada apa yang terjadi kemudian.[4]
Sementara itu, dalam pandangan Herman, etika adalah gabungan dari moralitas pribadi dan utilitas sosial. Aktifitas internasional sebuah negara acapkali dinilai berdasarkan dua hal ini. Hukum internasional telah mencakup keduanya namun seringkali parsial dan tidak sempurna. Namun, pengakuan hukum terhadap pengumpulan informasi sebagai sebuah aktifitas tetap ada. Penekanan Herman adalah pada efek internasional dari intelijen yang dapat diamati. Apakah intelijen baik atau buruk bagi masyarakat internasional, dengan menggunakan tolak ukur apakah intelijen mendorong atau menghambat sikap pemerintah yang bertanggungjawab, relasi antarnegara yang baik, pengurangan ketegangan, kerjasama bertujuan internasional, dan menghindari perang. Namun Herman, dalam melakukan pendekatan konsekuensialis, tetap memasukkan pandangan Kant yang mengatakan bahwa bersikap moral berarti bertindak dalam kerangka prinsip ketat yang bebas dari pertimbangan-pertimbangan konsekuensial.[5]
Andregg mengatakan bahwa etika untuk intelijen tidak bisa disamaratakan. Ini disebabkan tipe profesional intelijen yang berbeda seringkali memiliki ide yang berbeda berkaitan dengan nilai dan norma yang dianut berdasarkan nilai moralitas kebajikan utama masing-masing. Ia kemudian mengklasifikasikan profesional intelijen menjadi lima macam secara global. Pertama, collectors, yang mengumpulkan informasi atau data sehingga mereka memandang bahwa nilai moral terpenting mereka adalah melindungi metode, sumber, dan anonimitas mereka. Kedua, analysts, yang memproses informasi tersebut dan mengkombinasikannya dengan informasi sumber terbuka untuk menghasilkan produk intelijen yang useful bagi pembuat kebijakan. Para analis memandang bahwa useful di sini bermakna tepat waktu, relevan, akurat, dan actionable bagi pembuat kebijakan. Ini membuat menghindari politisasi produk informasi mereka menjadi suatu nilai moral utama bagi para analis. Ketiga, operators, yang pergi ke berbagai tempat dan melakukan berbagai hal. Merekalah yang paling mungkin melakukan pembunuhan, pemerasan, dan penyiksaan dalam pekerjaan mereka serta menangani mata-mata yang penuh resiko sehingga menjaga keamanan operasi menjadi nilai inti para operator untuk melindungi operasi mereka, orang yang mereka pekerjakan, dan terutama diri mereka sendiri. Keempat, managers, yang mengorganisir pekerjaan dan pendanaan semua tipe profesional di atas. Andregg menyebutkan bahwa para manajer harus bersaing dengan para birokrat sehingga moralitas mereka dapat dimaklumi. Terakhir, policy makers, yang secara teori membuat keputusan yang memiliki efek paling besar. Secara teori, semua profesional intelijen yang lain bekerja untuk mendukung kebijakan baik yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan dalam pemerintah. Namun karena kebanyakan pembuat kebijakan adalah politisi, maka kontras dengan para analis, “kebenaran” bagi mereka tidak seberapa penting dibandingkan dengan “kemanfaatan” dan kepraktisan perangkat mereka dalam pergulatan politiknya.
Membuat suatu perangkat etik untuk para intelijen dengan demikian tidak boleh menafikan aspek-aspek intelijen yang terdiri dari knowledge-activity-organisation, kerahasiaan, kompartementasi, kelebihan dan kekurangan intelijen, juga lingkaran intelijen itu sendiri. Ini dikarenakan etika intelijen diaplikasikan pada bidang-bidang tersebut sebagai landasan. Etika, yang merupakan sistem nilai dan adat istiadat yang hidup dalam suatu kelompok manusia, harus diejawantahkan dalam tanggung jawab etik dan pendekatan etik terhadap lapangan intelijen. Ini membuat etika intelijen berada dalam lingkup isu-isu sosial yang paling sensitif, yaitu:
1. Prinsip moral objektif melawan subjektif;
2. Pandangan agama berkaitan dengan membunuh;
3. Antisipasi dan pencegahan kekejaman di masa perang;
4. Kerahasiaan dan akuntabilitas demokrasi;
5. Penggunaan spionase untuk melakukan penetrasi terhadap rezim musuh;
6. Pengaruh politik dari operasi covert;
7. Penargetan pembunuhan; dan
8. Penyiksaan dalam menginterogasi tahanan.
Covert action
Andregg menyatakan bahwa dilema etika paling serius yang terjadi berada dalam ranah tindakan covert, atau rahasia.[6] Operasi covert dapat menggunakan semua seni kegelapan, dan bertanggung jawab secara langsung maupun tidak langsung atas jutaan kematian sepanjang abad keduapuluh. Namun di sisi lain, operasi covert juga menghindarkan dimulainya perang dan tidak ada cara yang akurat yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah nyawa yang diselamatkan oleh metode ini. Hal ini merangkum inti dari dilema mata-mata dan memata-matai dengan cukup tepat. Mata-mata sangat penting dalam pertanyaan apakah perang dimulai atau tidak dimulai, sebagaimana dalam pertanyaan siapa menang dan siapa kalah. Konsekuensi hidup dan mati dapat meluas. Namun mengukur efek tersebut hampir tidak mungkin, bahkan setelah peristiwa tersebut.
Ini merupakan sebuah masalah bagi teori konsekuensialis tentang apa yang merupakan perilaku moral. Jika konsekuensinya tidak benar-benar diketahui, bagaimana kita bisa menilai apakah tindakan itu bermoral atau tidak? Sebagai contoh, jika sebuah kota dapat diselamatkan dari serangan nuklir teroris, seorang konsekuensialis biasanya akan menyimpulkan bahwa untuk menyiksa teroris yang tertangkap itu sangat dibolehkan jika ia mungkin menyimpan informasi yang dapat membantu untuk menemukan dan menetralisir bom tersebut sebelum ia meledak. Tetapi siapa yang dapat benar-benar yakin, khususnya dalam masa kritis? Situasi seperti ini, dinamakan skenario “bom waktu berdetak”, didiskusikan dalam sekolah hukum ketika mereka mengkaji hukum yang (kebanyakan berkata) melarang dengan sangat keras penyiksaan di bawah kondisi apapun. Kelompok deontologis akan secara garis besar menyimpulkan bahwa jika hukum melarang penyiksaan dalam kondisi apapun, maka, itulah peraturannya dan itu harus ditaati tanpa memperhatikan konsekuensinya. Yang lainnya menyimpulkan bahwa sangatlah kejam bila membiarkan satu peraturan bodoh mencegah penyelamatan ribuan anak-anak yang tidak berdosa.
Salah satu contoh dari dilema moralitas terjadi di masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. Di masa awal dan pertengahan 1980-an, Reagan memutuskan bahwa sebuah partai politik di Nikaragua bernama the Sandinistas yang telah menjatuhkan diktator sebelumnya terlalu dekat bersekutu dengan Uni Soviet dan harus dieliminasi. Kongres AS menulis amandemen bagi legislasi nasional yang melarang badan intelijen AS apapun untuk mencoba menjatuhkan pemerintahan partai politik ini. Karena merasa frustasi oleh “Boland Amendments” ini, William Casey, yang di kemudian hari menjabat sebagai Director of Central Intelligence, mengotorisasi sebuah proyek “off the books” pada tahun 1983 yang dijalankan dari the National Security Council yang menghasilkan berbagai cara cerdas dan ilegal seperti menjual senjata Amerika pada sebuah negara yang secara resmi merupakan musuh di masa itu, Iran. Skandal ini kemudian dikenal sebagai skandal “Iran-Contra”.
Operasi itu melanggar begitu banyak hukum nasional dan internasional, namun perlu disadari bahwa operasi tersebut juga berhasil mencapai tujuan politiknya. Sebuah pasukan “rahasia” tercipta, dipersenjatai, dan didanai, yang lalu dikenal sebagai “the Contras”. Mereka menciptakan chaos yang begitu rupa di Nikaragua, dan dikombinasikan dengan peperangan ekonomi melalui operasi klandestin serta operasi psikologis dari luar, mereka berhasil menekan the Sandinistas untuk melepas kekuasaan.
Tanpa memperhatikan apakah seseorang setuju atau tidak setuju pada tujuan politik itu, kasus ini dengan jelas mengilustrasikan dilema dan kekuatan operasi rahasia. Mereka menang, dengan curang. Andregg menyebutkan bahwa salah satu dokumen yang ditulis oleh seorang pegawai kontrak CIA dan didistribusikan ke pasukan Contra, sebagai contoh, menyebutkan sejumlah pembunuhan walikota dan serangan pada kelompok kemanusiaan, sekolah, dan klinik medis untuk menjatuhkan moral pendukung Sandinistas. Dokumen itu menjustifikasi pendapat yang menyatakan bahwa etika untuk mata-mata tidak lebih tinggi dari selokan dan mencoreng nama Amerika Serikat. Untuk memenangkan sebuah perang rahasia, AS ternoda, sehingga ia tidak akan lagi dilihat sebagai pemimpin moral asli dalam usaha internasional mendirikan dan menguatkan hak-hak asasi manusia.
Mengembangkan Suatu Bentuk Batasan Etika bagi Profesional Intelijen
Berdasarkan hal di atas, Andregg menegaskan pemahaman bahwa sudah merupakan semacam asas fundamental selama berabad-abad bahwa moralitas tidak memiliki tempat dalam hubungan internasional, dan meletakkan batasan etika dalam proyek seperti operasi Iran-Contra tampaknya hampir mustahil. Namun, tentu saja, tidak ada hal yang mustahil. Batasan etika dalam dunia intelijen tetap merupakan suatu hal yang dapat dibuat. Ini penting terutama karena dunia saat ini sudah berkembang menjadi dunia yang penuh dengan senjata pemusah massal dengan jutaan orang yang cukup marah untuk menggunakannya. Andregg kemudian menetapkan batasan etika intelijen[7], bersumber dari literatur dan profesional intelijen itu sendiri. Aturan tersebut secara berurutan adalah:
· Pertama, jangan menyakiti, khususnya orang yang tidak bersalah. Orang yang tidak bersalah memiliki posisi yang sangat tinggi dalam bingkai moral walaupun hal ini tidak selalu benar bagi semua operator atau semua “profesional intelijen”. Prinsip jangan menyakiti ini dipegang berdasarkan argumen bahwa mayoritas misi dapat diselesaikan tanpa melakukan kekejaman yang tidak pantas dant terkadang kekejaman tersebut terjadi hanya karena ketidakkompetenan dalam menyelesaikan misi.
· Kedua, dan hanya jika teknik di bawah aturan 1 tidak dapat melindungi orang-orang, pilih yang lebih tidak kejam ketika dilema moral tidak dapat dihindari. Dengan demikian seandainya seorang profesional intelijen harus berbohong, mencurangi dan mencuri untuk melindungi masyarakat, hal ini dapat dibolehkan sampai batas tertentu. Penyiksaan, pembunuhan, pemerasan, dan sebagainya tidak boleh dilakukan kecuali dalam situasi yang paling ekstrim dan tidak terhindarkan.
· Ketiga, mencamkan baik-baik dalam pikiran bahwa hukum konsekuensi atau sebab-akibat itu nyata, dan bahwa kesempurnaan itu adalah suatu hal yang tidak mungkin. Ini berkaitan dengan fakta bahwa cara-cara yang dipilih untuk melakukan sebuah hal biasanya menentukan hasil aktual yang dicapai. Niat sedikit berperan, konsekuensi banyak, dan jutaan orang telah mencoba melakukan hal baik dengan melakukan hal buruk terlebih dahulu. Hal ini hampir tidak pernah berhasil dalam jangka panjang. Dan seringkali, seseorang memenangkan pertempuran taktis namun kalah dalam perang strategi. Argumentasi bahwa akhir yang baik menjustifikasi cara praktek apapun adalah lereng etika yang licin dan berbahaya. Di bawah lereng tersebut terletak rasionalisasi yang mentolerir pembunuhan dokter di klinik atau guru di sekolah atau anak-anak di sebuah desa sebagai sebuah metode perang untuk mencapai tujuan politik.
Selain batasan etika intelijen yang ditetapkan oleh Andregg itu, profesional intelijen yang bergerak di bidang bisnis, yang lebih dikenal sebagai kontraktor, Society of Competitive Intelligence Professional (SCIP) juga memiliki kode etik yang sebenarnya dapat diadopsi oleh para profesional intelijen.[8] Kode etik tersebut adalah:
1. Terus berusaha keras meningkatkan pengakuan dan respek profesi;
2. Menaati semua hukum yang berlaku, di wilayah domestik dan internasional;
3. Secara akurat menyingkap semua informasi yang relevan, termasuk identitas dan organisasi seseorang, sebelum wawancara berlangsung;
4. Respek secara penuh terhadap semua permintaan terhadap kerahasiaan informasi;
5. Untuk menghindari konflik kepentingan dalam memenuhi kewajiban;
6. Untuk menyajikan rekomendasi dan konklusi yang jujur dan realistis dalam eksekusi tugas;
7. Untuk meningkatkan kode etik dalam perusahaan seseorang, dengan kontraktor bagian ketiga, dan di dalam semua profesi; dan
8. Setia mematuhi kebijakan, tujuan, dan arahan perusahaan.
Mengatasi Dilema Etika Intelijen di Wilayah Internasional
Berdasarkan fakta bahwa intelijen bukan yang memunculkan pertanyaan pertama berkaitan dengan etika seperti perang dan damai, Herman memberikan tiga argumentasi. Pertama, pemerintah menetapkan bahwa standar profesional tentang pengetahuan intelijen harus bersikap sebagai anggota masyarakat internasional yang lebih bertanggung jawab daripada yang lain. Kedua, kebanyakan proses pengumpulan informasi intelijen masih mengikuti pola penargetan kepada negara lain. Ketiga, kategori target pengumpulan informasi baru telah berkembang pasca berakhirnya Perang Dingin, seperti organisasi teroris.[9] Kesepakatan kemudian muncul bahwa saat target ini mengancam keamanan internasional dan paham kemanusiaan, maka semua metode pengumpulan informasi dapat dijustifikasi. Ini membuat perbedaan antara pengumpulan yang intrusif dan non-intrusif menjadi sebatas masalah tingkatan saja dan meniadakan kriteria penerimaan dan penolakan. Perbedaan cukup ditarik dari sejauh apa orang-orang dari pengetahuan intelijen, pengumpulan intrusif dari negara-negara terhormat, dan pengumpulan melawan target baru dipengaruhi oleh peristiwa 2001 dan 2002?
Pasca 11 September 2001, pemerintah mendadak beradaptasi dengan kondisi dunia yang semakin tidak stabil dan revolusi informasi di dalamnya dari segi ketersediaan informasi dan kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan dan memprosesnya. Ini membuat intelijen sebagai satu keseluruhan tumbuh kembali dan menjadi aktifitas yang tidak dapat disangkal. Keputusan penting lebih condong pada apa yang dapat ditemukan oleh intelijen dalam hal niat dan kapabilitas target yang sangat rahasia yang memberi intelijen legitimasi baru, meskipun masih ambigu.
Peristiwa ini juga menghasilkan kontradiksi. Urgensi pengumpulan tertutup dan kerahasiaan yang diperlukan untuk melindunginya kembali ditekankan. Tetapi keharusan untuk bekerjasama antarbadan intelijen internasional demi melawan teroris yang timbul darinya menjadikan intelijen lebih bersifat internasional. Ini mempersempit wilayah dilema sekaligus mempertajam dilema tersebut. Di sisi lain, peningkatan kerjasama antarpemerintah memperbesar kebutuhan tidak hanya dalam pertukaran intelijen, namun juga profesionalisme dalam menangani hal tersebut. Namun kerjasama menghadapi terorisme yang lebih internasional sama dengan menikahi pacar asing yang meragukan secara politis.
Intelijen yang intrusif sebelumnya meningkatkan ketegangan antarnegara secara luas. Ini tetap dirasakan saat kerjasama antarnegara berjalan karena tetap ada aktifitas intelijen yang signifikan untuk mengumpulkan informasi yang murni untuk kepentingan nasional walaupun konsultasi dan kolaborasi internasional berdasarkan alasan umum terus berkembang. Apabila pemerintah mampu mengatur kerahasiaan operasi rahasia, hal tersebut bukan masalah. Namun itu adalah hal yang sangat sulit. Ini membuat institusi intelijen masih memiliki reputasi yang meragukan. Sehingga dilema etika intelijen hanya dapat diminimalisir melalui kerjasama timbal-balik antarnegara.
Selain meningkatkan kebutuhan kolaborasi intelijen yang lebih dekat, skala kontra-terorisme dan kebutuhan baru juga memunculkan isu sumber daya praktis. Ini dapat diatasi dengan merelokasikan sumber daya intelijen untuk ditempatkan di kontra-terorisme sesuai dengan yang dibutuhkan. Meski demikian, pengendalian intelijen mungkin belum menjadi agenda internasional. Padahal ini merupakan kemustian untuk mengontrol etika intelijen di saat kerjasama intelijen antarnegara giat dilakukan. Mengingat asas moralitas internasional Kant, memahami bagaimana mengendalikan aktifitas intelijen yang dilakukan adalah hal yang penting.
Kesimpulan
Selama ini posisi intelijen ditentukan oleh ide tentang otoritas negara, ancaman, dan kompetensi antarnegara. Keberhasilan negara memperoleh pengetahuan, secara mendasar dipandang sebagai kekalahan negara lain dalam melindungi pengetahuannya. Namun peristiwa 9/11, jaringan kampanye kontra terorisme, dan berbagai kejadian sebelumnya menghasilkan suasana untuk sebuah ide baru bahwa intelijen harus dilihat sebagai cara kerjasama untuk tujuan menghadapi target bersama dan menjadi sebuah aktifitas legal dengan standar internasional yang diakui. Michael MacGwire telah menulis tentang kemungkinan “pergeseran paradigma” dalam konsep keamanan nasional dengan “mencampurkan kepercayaan, teori, prekonsepsi, dan prasangka yang membentuk ide mengenai bagaimana sistem internasional bekerja, menghasilkan ekspektasi dan menentukan sikap yang tepat” dan mendukung keamanan internasional di atas keamanan nasional. Sebuah revisi mengenai bingkai intelijen dapat menjadi bagian dari proses tersebut yang lebih besar.
Ini dapat tampak sebagai cita-cita yang sulit dicapai, namun sejarah menunjukkan bahwa negara dapat merubah asumsi kerjanya secara radikal. Selain itu, apabila profesional intelijen swasta saja dapat memiliki dan menerapkan kode etik dalam profesi mereka, maka bidang profesional intelijen lain juga dapat melakukan hal yang sama. Sehingga etika intelijen setidaknya bukan masalah besar bagi masyarakat internasional. Berbagai realita yang terjadi telah mengkonfirmasi bahwa intelijen adalah atribut nasional utama, dan merupakan faktor yang terus mengembang secara signifikan dalam hubungan internasional di tengah-tengah Revolusi Informasi. Intelijen tidak dapat diatur mutlak berdasarkan pandangan realisme saja. Intelijen harus menyesuaikan diri dengan etika sistem kerjasama negara yang terus meningkat dengan berani melakukan perubahan pola pikir yang secara radikal. Intelijen harus dilihat sebagai satu bentuk kerjasama yang dapat dilakukan secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia untuk menghadapi musuh bersama, seperti terorisme. Bagaimanapun intelijen bukanlah hal yang buruk karena ia merupakan salah satu perangkat pemerintahan yang memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan negara, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.
Daftar Pustaka
Andregg, M. (2007). Intelligence Ethics: Laying A Foundation for The Second Oldest Profession. Dalam L. K. Jonhson (Penyunt.), Handbook of Intelligence Studies (hal. 52-63). Abingdon: Routledge.
Herman, M. (2004). Ethics and Intelligence after September 2001. Intelligence & National Security , 342-358.
[1] Andregg, Michael. (2007). Intelligence Ethics: Laying A Foundation For The Second Oldest Profession. Dalam Johnson, Loch K. (ed.). (2007). Handbook of Intelligence Studies. Abingdon: Routledge. Hal. 52.
[2] Herman, Michael. (2004). Ethics and Intelligence after September 2001. Intelligence & National Security. 19:2. 342-358. Hal. 343.
[3] Andregg. Intelligence Ethics. Hal. 53.
[4] Ibid.
[5] Herman. Ethics and Intelligence after September 2001. Hal. 343.
[6] Andregg. Intelligence Ethics. Hal. 54.
[7] Ibid. Hal. 55.
[8] Ibid. Hal. 61.
[9] Herman. Ethics and Intelligence after September 2001. Hal. 345.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.