Abstraksi
Pada umumnya, masalah etika yang dibicarakan hanya berkaitan dengan cara pelaku intelijen kompetitif mengumpulkan informasi. Namun, lebih jauh dari itu, masalah etika sebenarnya muncul dalam setiap proses intelijen kompetitif yang dilakukan, mulai dari perencanaan, pengumpulan informasi, analisis, hingga komunikasi hasil analisis. Tulisan ini akan menyoroti masalah etika apa yang terjadi dalam setiap proses intelijen kompetitif, dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasinya.
I. Latar Belakang
Suatu organisasi, hendaknya, meletakkan aturan dan kode etik perusahaan di atas segalanya. Ini dilakukan untuk membangun sebuah nilai dalam perusahaan, baik nilai individu, maupun nilai organisasi. Ada begitu banyak hal yang dilakukan demi mencapai keuntungan ekonomi yang maksimal. Namun, seringkali para manajer mengumpulkan informasi dan melakukan praktek intelijen ekonomi justru dengan melanggar norma-norma dan etika yang berlaku. Patut disadari bahwa sesungguhnya, masalah etika yang terjadi dalam perusahaan, tidak hanya berimplikasi kepada nasabah atau klien secara hukum, tapi juga menghancurkan nilai-nilai perusahaan dan meruntuhkan posisi kompetitif yang berakibat buruk bagi perusahaan itu sendiri. Masalah etika dalam CI tidak hanya menyangkut penyalahgunaan hukum, namun juga mempertanyakan ketaatan akan asas-asas dan nilai-nilai perusahaan yang terkait (Jordan & Finkelstein: 2005).
Ada cukup banyak literatur yang mengatakan bagaimana seharusnya profesional CI mempraktekkan CI dengan penuh etika. Namun, mereka lebih menekankan bahwa etika itu hanya berperan dalam tataran mengumpulkan informasi yang dibutuhkan saja. Sementara etika yang ada dalam menganalisis informasi, mendiseminasi, hingga merencanakan kembali seringkali luput dari perhatian. Etika memang merupakan hal yang bersifat oxymoron dalam dunia intelijen, tetapi, itu tidak berarti bahwa etika itu harus diabaikan begitu saja. Etika akan berimplikasi langsung terhadap perilaku pelaku intelijen, baik dalam intelijen nasional maupun intelijen privat. Lebih khusus lagi, dalam tataran perusahaan, perilaku yang tidak berlandaskan pada etika yang baik, akan berdampak pada integritas perusahaan itu sendiri yang bersumber dari kepercayaan masyarakat dan para stakeholder-nya. Dalam dunia di mana kepercayaan menjadi landasan dari berjalannya suatu organisasi, tidak ada perusahaan yang mau melanggar etika bila mereka benar-benar menyadari bagaimana pentingnya integritas.
Paper ini akan mengetengahkan implementasi etika dalam setiap putaran intelijen kompetitif, bagaimana cara memenyelesaikan business intelligence cycle dengan memasukkan etika ke dalam setiap unsur putarannya. Ini dilakukan dengan mengadopsi teori etika Born & Wills untuk intelligence cycle dari intelijen nasional. Atas dasar itu, sebuah model etika kemudian dikembangkan dari model etika Fitzpatrick dan model etika Svensson & Wood untuk melengkapi pengadopsian teori etika tersebut ke dalam ranah competitive intelligence yang berciri ekonomi, bisnis, dan private sector. Implementasi model etika yang tepat diharapkan dapat membantu membangun atau membangun kembali nilai-nilai integritas individu dan organisasi yang kemudian berimplikasi positif pada upaya membangun dan mempertahankan posisi kompetitif organisasi.
II. Perumusan Masalah
Proses intelijen kompetitif pada dasarnya tidak berbeda dengan proses intelijen pada umumnya. Proses ini terdiri dari empat fase, yaitu perencanaan dan fokus, pengumpulan informasi, analisis, dan komunikasi. Empat fase ini, masing-masing dipengaruhi oleh empat hal lain, yaitu kesadaran dan budaya, serta proses dan struktur. Kesadaran dan budaya mempengaruhi tahap perencanaan dan analisis informasi, sementara proses dan struktur tidak dapat dilepaskan dari pengumpulan informasi dan komunikasi hasil analisis. Hal tersebut tampak dalam Figure 1.
Figure 1.
Planning & Focus merupakan fase di mana penilaian dibuat berdasarkan intelijen apa yang dibutuhkan. Fase inilah yang menentukan alokasi space-time-money untuk pelaksanaan pengumpulan informasi. Tahap Collection adalah saat informasi dikumpulkan dari berbagai sumber yang ada sekaligus menentukan apakah informasi yang diperoleh beserta sumbernya itu memiliki kredibilitas dan reliabilitas yang baik. Sementara itu, proses Analysis merupakan tahap mengolah informasi menjadi suatu produk yang dapat dimanfaatkan oleh user. Terakhir, tahap Communication adalah fase menyebarkan produk intelijen kompetitif kepada para user yang memiliki kekuasaan dan tanggung jawab untuk bertindak berdasarkan produk intelijen yang dihasilkan (Saymaan, et al: 2008).
III. Tinjauan Pustaka
Competitive intelligence dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai enam hal. Enam hal tersebut adalah (1) Kapabilitas strategis; (2) Properti intelektual; (3) Formulasi produk; (4) Proses teknologi; (5) Business plans; dan (6) Ancaman potential (Fitzpatrick: 2003).
Demi memperoleh hal-hal tersebut, berbagai cara, teknik, dan sumber informasi dimanfaatkan. Tekniknya bervariasi, mulai dari secara pasif, semi aktif, hingga aktif (Friedman, et al: 1997). Teknik pengumpulan intelijen secara pasif sangat sedikit, bahkan seringkali tidak, bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ini membuat masalah etika bukan merupakan hambatan dalam menjalankan pengumpulan data. Namun tidak demikian adanya dengan teknik pengumpulan intelijen secara semi aktif dan aktif. Keduanya berada dalam wilayah abu-abu dan seringkali berbenturan dengan ranah hukum. Jejak yang dihasilkan dari metode pengumpulan ini bahkan dapat menyinggung pesaing serta penguasa terkait yang dapat membahayakan praktisi CI itu sendiri. Karena itu, berbagai teknik CI lain yang lebih kreatif pun dikembangkan untuk meminimalisir masalah etika dalam intelijen kompetitif.
Shlomo Shpiro (Born & Wills: 2010) mengatakan bahwa etika intelijen secara umum adalah sekelompok arahan perilaku yang berbasis pada kepercayaan tertentu . . . sehubungan dengan peran intelijen dalam masyarakat. Sementara Michael Herman (Herman: 2004) berpendapat bahwa etika dalam intelijen adalah gabungan dari moralitas pribadi dan utilitas sosial. Kedua hal ini menghasilkan suatu kesimpulan bahwa etika dalam intelijen adalah arahan mengenai sikap dan perilaku berdasarkan norma yang berlaku, bersumber dari intrinsik personal, dan berimplikasi pada lingkungan sosial di sekitarnya.
Praktisi CI akan bersinggungan dengan hukum dalam masalah rahasia dagang bila mereka, tanpa otorisasi yang memadai (1) membawa; (2) mengirim; dan (3) menerima rahasia dagang suatu perusahaan (Fitzpatrick: 2003). Untuk itu, demi melindungi rahasia dagang, maka perusahaan menerapkan berbagai prosedur perlindungan yang terdiri dari (1) memberi arahan kepada karyawan bahwa beberapa hal tertentu dalam perusahaan merupakan bagian dari rahasia dagang; (2) membatasi akses terhadap rahasia dagang tersebut; (3) menandatangani kesepakatan kerahasiaan dengan orang-orang yang memiliki akses terhadap rahasia dagang; (4) memasang peralatan keamanan; (5) secara jelas menandai barang-barang rahasia dengan cap kerahasiaan; dan (6) mengembangkan kebijakan keamanan perusahaan yang mengawasi pembicaraa eksternal dan publikasi oleh personel perusahaan untuk mencegah terjadinya kebocoran rahasia dagang (Fitzpatrick: 2003).
Di Amerika Serikat, untuk menghindari masalah etika dan hukum yang mungkin menghalangi kinerja pelaku CI, maka perkumpulan profesional CI (SCIP), membuat aturan kode etik tersendiri (Fitzpatrick: 2003). Kode etik ini melarang anggotanya untuk (1) menyuap; (2) memasang peralatan penyadapan; (3) mencuri atau membayar seseorang untuk mencuri; (4) memeras atau mengancam; dan (5) memperoleh akses melalui misrepresentasi atau secara sengaja salah mengarahkan informan potensial, baik dengan cara berpura-pura menggunakan identitas lain demi menggali informasi (commission), atau dengan tidak jujur mengatakan motivasi atau klien mereka (omission).
Untuk itu, Society of Competitive Intelligence Professional (SCIP) memiliki kode etik yang harus ditaati dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh para anggotanya. Kode etik tersebut adalah:
1. Terus berusaha keras meningkatkan pengakuan dan respek profesi;
2. Menaati semua hukum yang berlaku, di wilayah domestik dan internasional;
3. Secara akurat menyingkap semua informasi yang relevan, termasuk identitas dan organisasi seseorang, sebelum wawancara berlangsung;
4. Respek secara penuh terhadap semua permintaan terhadap kerahasiaan informasi;
5. Untuk menghindari konflik kepentingan dalam memenuhi kewajiban;
6. Untuk menyajikan rekomendasi dan konklusi yang jujur dan realistis dalam eksekusi tugas;
7. Untuk meningkatkan kode etik dalam perusahaan seseorang, dengan kontraktor bagian ketiga, dan di dalam semua profesi; dan
8. Setia mematuhi kebijakan, tujuan, dan arahan perusahaan.
Semua kode etik ini pada dasarnya mengatur bagaimana seorang pelaku intelijen kompetitif bertindak dalam setiap proses intelijen kompetitif.
Di samping kode etik tersebut, ada begitu banyak model yang digunakan untuk menerangkan masalah etika dalam praktek intelijen kompetitif. Salah satunya adalah model etika Fitzpatrick seperti yang tampak pada Figure 2.
Figure 2.
Fitzpatrick (Fitzpatrik: 2003) mengetengahkan bahwa etika pelaku kompetitif intelijen yang efektif bersumber dari tiga hal, yaitu akuntabilitas, inisiatif keamanan perusahaan, dan pendidikan yang dilakukan oleh perusahaan. Akuntabilitas berkaitan dengan penilaian, penerimaan, dan audit dari informasi yang masuk ke dalam perusahaan. Sementara inisiatif keamanan perusahaan berhubungan dengan program kesadaran para karyawan mengenai keamanan dan reduksi faktor resiko dari sisi para karyawan itu sendiri. Sedangkan pendidikan berhubungan dengan instruksi para personel intelijen kompetitif untuk memonitor para kompetitor secara proaktif dengan metode dasar atau pengarsipan, bukan dengan metode-metode lain yang legalitasnya dipertanyakan.
Sementara itu, etika bisnis Svensson & Woods (Svensson & Woods: 2008) mengetengahkan hal yang jauh lebih kompleks seperti yang tampak pada Figure 3. Model etika Svensson & Wood mencakup ekspektasi masyarakat yang menghasilkan nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan organisasi dan memunculkan persepsi-persepsi tertentu dalam perusahaan. Keduanya memunculkan hasil yang kemudian dievaluasi kembali oleh masyarakat. Hasil dari evaluasi ini kemudian memunculkan ekspektasi masyarakat selanjutnya.
Figure 3.
Dari kedua model etika di atas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya, sikap para pelaku intelijen kompetitif sebenarnya dipengaruhi oleh tiga hal ekstrinsik, yaitu norma dan budaya sosial yang berlaku, budaya bisnis dan praktek industri, serta ekspektasi dan budaya perusahaan. Lihat Figure 4.
Figure 4.
IV. Pembahasan Masalah
Setelah melihat proses intelijen kompetitif dan model etika yang ada dalam intelijen kompetitif, sekarang adalah waktu untuk mengidentifikasi masalah etika yang ada dalam setiap proses dan mencari solusinya.
a. Perencanaan
Perencanaan adalah tahap awal sekaligus akhir dalam perputaran intelijen. Kebijakan yang diambil di tahap ini tidak hanya mendefinisikan parameter tahap-tahap proses intelijen selanjutnya, namun ia juga dipengaruhi oleh tahap-tahap proses yang terjadi sebelumnya (Svensson & Woods: 2008). Dalam konteks intelijen kompetitif, masalah etika yang muncul dalam proses perencanaan pada umumnya berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
1) peranan para eksekutif dalam meletakkan prioritas, yang bertujuan demi kemakmuran perusahaan, namun tetap bertanggung jawab atas tindakan intelijen kompetitif yang dilakukan sehingga mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa tindakan yang diambil tidak melangkahi norma etika yang berlaku. Selain itu mereka juga tidak boleh meminta intelijen kompetitif menghasilkan informasi dengan cara apapun dan secepat mungkin (Friedman: 1997) karena dapat membuat pelaksana intelijen kompetitif melanggar etika-etika yang berlaku demi memenuhi perintah atasannya;
2) legitimasi fungsi atau tugas yang menjustifikasi keterlibatan intelijen kompetitif yang, sesuai dengan prinsip space-time-money (Friedman: 1997), memutuskan di mana sumber daya yang ada harus difokuskan dan kelompok, individu, atau perusahaan apa yang menjadi target informasi. Adanya klasifikasi mengenai wilayah informasi serta siapa yang memiliki informasi tersebut (Pfaff & Tiel: 2004) juga menuntut perencanaan yang matang berkaitan dengan cara mengumpulkan intelijen dari target yang diinginkan; dan
3) perekrutan individu untuk melaksanakan tugas yang direncanakan yang membuat perusahaan harus berhati-hati memilih pelaksana tugas dengan menerapkan standar etika yang tinggi dalam proses perekrutan (Godfrey: 1978).
b. Pengumpulan informasi
Ada begitu banyak masalah etika yang berhubungan dengan pengumpulan informasi dalam intelijen kompetitif. Banyak pelaku intelijen kompetitif yang menghalalkan segala cara demi memenuhi tuntutan atasannya akan informasi intelijen secepat mungkin. Cara-cara yang dilakukan bervariasi, dari yang paling etis hingga yang sangat tidak etis. Michelle & Curtis Cook (Cook & Cook: 2000) mengembalikan pilihan kepada para profesional intelijen kompetitif untuk memikir, menjawab dan menilai sendiri cara apa yang patut digunakan dengan memberikan daftar cara pengumpulan untuk tes perilaku etis untuk pelaku intelijen kompetitif. Tes itu kemudian diukur dengan menggunakan skala Likert berdasarkan tolak ukut 1-5. Beberapa pernyataan di antara daftar tersebut adalah :
1) Mengambil ide dari teknisi pesaing dalam trade show atau konferensi.
2) Mewawancara karyawan pesaing untuk pekerjaan yang tidak eksis demi mengumpulkan informasi secara tidak langsung.
3) Mempekerjakan eksekutif kunci untuk apa yang mereka ketahui.
4) Mempekerjakan konsultan yang sama dengan pesaing.
5) Mewawancara mantan pekerja kompetitor.
6) Membeli sampah pesaing dari tempat pembuangan sampah.
Apa yang dilakukan oleh Cook & Cook pada dasarnya merupakan usaha untuk menimbulkan motivasi intrinsik dalam diri profesional intelijen untuk melaksanakan tindakan pengumpulan informasi secara etis. Selain itu, dalam mengumpulkan informasi juga patut dipertimbangkan apakah pengumpulan yang dilakukan menabrak privasi (Svensson & Woods: 2008) dari individu-individu tertentu, bukan hanya privasi perusahaan pesaing.
c. Analisis informasi
Analisis adalah proses mentransformasikan bagian-bagian informasi yang diperoleh menjadi sesuatu yang berguna bagi pembuat kebijakan (Svensson & Woods: 2008). Proses ini mencakup memilah, mengkorelasikan, menyimpan, dan menganalisis informasi serta mengorganisirnya dengan baik. Dalam proses ini, masalah etika yang muncul berakar pada dua hal, yaitu:
a) Politisasi hasil analisis untuk pembuatan kebijakan. Walaupun hal ini sering terjadi dalam tataran intelijen negara, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah ini juga muncul dalam intelijen bisnis. Eksekutif perusahaan sering menggunakan analisis yang ada untuk menjustifikasi pendapat atau kebijakan mereka tentang suatu hal, apakah itu strategi perusahaan atau sekedar demi personal interest.
b) Adanya kewajiban untuk memberikan peringatan (precaution) mengenai kemungkinan kesalahan yang terjadi dalam kesimpulan analisisnya. Namun, seringkali analis mengabaikan hal tersebut karena mengkhawatirkan reliabilitas dan validitas analisisnya atau karena takut analisisnya ditolak oleh atasannya.
d. Komunikasi hasil analisis
Dalam komunikasi atau diseminasi hasil analisis, ada beberapa hal yang memunculkan masalah etika yang seringkali luput dari pengamatan. Hal-hal tersebut adalah isu memberitahukan kebenaran kepada atasan, intelligence sharing, dan diseminasi intelijen yang tidak terotirisasi.
Dalam isu memberitahukan kebenaran kepada atasan, integritas dalam mempresentasikan hasilnya kepada konsumen intelijen, dalam hal ini manajer, CEO, dan sebagainya, dengan tidak memanipulasi atau melebih-lebihkan supaya cocok dengan suatu kepentingan politis tertentu di dalam perusahaan. Sementara itu, dalam hal intelligence sharing, informasi yang dikumpulkan oleh intelijen kompetitif dapat digunakan oleh berbagai departemen dalam perusahaan, yang menganalisisnya kembali untuk digunakan dalam hal lain, berujung pada masalah etika penggunaan informasi bila dilakukan tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Selain itu, perusahaan juga harus mengantisipasi adanya kebocoran informasi atau hasil analisis perusahaan oleh oknum pelaku intelijen kompetitif dalam perusahaan tersebut, baik secara rahasia ataupun terang-terangan menjadi whistle blower karena merasa bahwa ada kewajiban moral untuk melaporkan malpraktek yang terjadi dalam perusahaan, bila ada. Sehingga, perlu betul-betul diperhatikan bagaimana cara menjaga arus informasi dengan mengembangkan sistem keamanan dalam perusahaan dan menjaga supaya perusahaan tetap berjalan dengan penuh integritas dan kehormatan.
V. Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah etika dalam intelijen kompetitif tidak hanya terjadi dalam proses pengumpulan informasi. Namun, lebih dari itu, masalah etika justru muncul dalam setiap proses dalam lingkaran intelijen kompetitif. Ada beberapa model etika yang dapat diimplementasikan dalam perusahaan untuk meminimalisir dan mengatasi masalah etika ini. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masalah etika adalah masalah yang muncul dari dalam diri individu sehingga mengatasinya pun harus dari dalam pula. Berbagai model ataupun kode etik yang ada hanya sebatas motivasi ekstrinsik yang berperan sebatas mengarahkan perilaku yang tampak. Seperti apapun model etika yang diimplementasikan, hal tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya pemahaman masing-masing personal mengenai etika dan kesadaran mereka untuk mengimplementasikannya. Kesadaran ini harus bersumber dari motivasi intrinsik dan didukung oleh motivasi ekstrinsik yang muncul dari implementasi kode etik di perusahaan.
Referensi
Cook, M. & C. Cook. [2000]. Competitive Intelligence: Create an Intelligent Organization and Compete to Win. London: Kogan Page.
Fitzpatrick, W.M. [2003]. “Uncovering Trade Secret: The Legal and Ethical Conondrum of Creative Competitive Intelligence”. S.A.M. Advanced Management Journal.
Friedman, G. et al. [1997]. The Intelligence Edge: How to Profit in the Information Edge. New York: Crown Publisher, Inc.
Godfrey, D.E. [1978]. “Ethics and Intelligence”. Foreign Affairs 56, no.3: 624-642.
Hallaq, J.H, K. Steinhorst. [1994]. “Business Intelligence Methods: How Ethical”. Journal of Business Ethics. ABI/INFORM Global.
Herman, M. [2004]. “Ethics and Intelligence after September 2001”. Intelligence and National Security. 19:2. 342-358.
Jordan, Jennifer, Sydney Finkelstein. [2005]. “The Ethics of Competitive Intelligence”. Turk School of Business at Dartmouth.
Pfaff, T. and J. Tiel. [2004]. “The Ethics of Espionage”. Journal of Military Ethics 3, no. 1.
Saymaan, A. Et al. [2008]. “Competitive Intelligence: Construct Exploration, Validation, and Equivalence”. New Information Perspectives, 60, 4: 383-411.
Sims, R.R. and J. Brinkmann. (2003). “Enron Ethics (Or: Culture Matters More than Codes)”. Journal of Business Ethics, 45: 243-256. Belanda: Kluwer Academic Publishers.
Svensson, G. and G. Wood. (2008). “A Model of Business Ethics”. Journal of Business Ethics, 77: 303-322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.